Monday, July 25, 2005

Aku Tidak Menari di Atas Darah Kawan

AKU TIDAK MENARI di ATAS DARAH KAWAN

Jaman sudah berubah, banyak orang lebih suka menggunakan sejata api untuk membunuh, katanya lebih efektif untuk jangkaun yang jauh dan bisa membunuh beberapa orang sekaligus dalam waktu sekejap. Aku pun beranggapan seperti itu dan menikmatinya ketika ku keluarkan isi kepala seorang polisi yang mengganggu ku. Sebutir peluru keluar dari “Taurus 66 .357”*, melesak melalui mulut tembus di belakang kepala dan menabrak tembok. Sekejap tembok berwarna kuning itu berubah menjadi merah dihiasi butiran-butiran putih. Dia tidak lagi bisa bicara karena lidahnya hancur, hanya mulut yang terus menganga dan mata yang tak sempat terpejam tertinggal. Bekas lubang peluru, mengalirkan darah derasnya dan sesekali juga gumpalan warna putih dengan baunya yang sangat bacin keluar. Aku tinggalkan dia sendirian dan dua hari kemudian seekor anjing membawakan sepotong ibu jari untuk tuannya.

Suasana taman yang biasanya sepi tiba-tiba menjadi ramai. Suara sirene dari mobil ambulance maupun mobil patroli polisi sangat berisik dan mengganggu ketenangan. Garis batas polisi segera di pasang dan itu berarti tidak seorang awam pun boleh memasuki daerah itu. Jalan di taman yang setiap hari aku lalui hari ini ditutup dan tanpa memperhatikan apa yang terjadi di situ, aku melangkahkan kaki dan ku lewati jalan lain.

Berita begitu cepat menyebar, aku belum sempat meletakkan tas ketika teman sekantor ku langsung bertanya tentang pembunuhan itu. “Ya aku tadi melewatinya tapi tak sempat melihat.” Pembunuhan itu menjadi topic pembicaraan yang hangat di angkringan-angkringan** sepanjang jalan yang kulewati.

Pagi harinya, koran-koran menempatkan berita pembunuhan itu di halaman pertama. Ada yang menampilkan judul “Seorang Polisi di Tembak Kepalanya”, “Seorang Polisi di Bunuh” dan sebuah ‘koran kuning’*** membuat berita itu menjadi headline dengan judul yang besar “Seorang Polisi di Bolong Ndhase”. Selama beberapa hari topic itu menghiasi halaman koran-koran, tidak hanya berita bahkan komentar masyarakat awam sampai dengan kriminolog dan para ahli di bidangnya. Tetapi seperti biasa, dalam beberapa hari kedepan aku yakin topic itu sudah hilang dan berganti dengan topic baru yang lebih menarik. Aku merasa tidak perlu mengikuti berita-berita itu karena memang tidak pernah ada kemajuan, baik itu berita maupun yang lain-lainnya. Lebih baik aku menonton film-film kesukaanku atau membuat tulisan yang mungkin berguna untuk pekerjaan ku. Mengikuti berita-berita itu malah menambah bingung dan untuk mengetahui siapa pembunuh sesungguhnya, aku telah mengetahuinya dengan pasti.

Hari-hari berjalan seperti biasa, tanpa terasa pembunuhan itu sudah dua bulan lebih berlalu dan sepertinya belum ada perkembangan. Hari ini aku ingin menikmati suasana kafe, mungkin sedikit “Pink Lady”**** akan aku tenggak untuk mengistirahatkan tubuh ku. Suasana pojokan kafe yang remang dengan alunan musik membuat ku merasa lebih rileks. Tenaga dan pikiran ku terforsir setelah beberapa hari ini aku lembur kerja.

Ketenangan menjadi terganggu oleh seorang pengunjung yang marah-marah. Aku perhatikan perdebatan. Seorang anggota tentara minta diskon tetapi tidak di beri. Cek-cok itu berbuntut dengan pemukulan pelayan yang langsung lari dan tanpa sengaja menabrak meja ku. Suasana ini membuat ku gerah dan segera ku tinggalkan kafe disertai dengan permintaan maaf seorang pelayan yang akan mengganti minuman ku. “Nggak usah, aku nggak apa-apa.” Aku ambil sepeda motor dan pergi. Perasaan marah, dongkol, bercampur aduk dan mendorong ku untuk kembali lagi ke tempat itu.

Di sebuah angkringan depan kafe, ku lihat tentara itu membanting semua yang ada di dekatnya sambil memaki-maki pelayan. Dengan bibir dan hidung yang pecah berdarah, pelayan itu menyerahkan sebungkus minuman. Raut wajahnya menyiratkan ketakutan. Tentara itu menerima bungkusan dengan muka kecut dan meninggalkan kafe, aku penasaran dengan muka tentara itu dan aku mengikutinya.

Dia ke arah utara menuju daerah yang jauh dari keramaian kota dan pada suatu tempat yang sepi aku kejar dia dan aku hentikan motornya. Dengan suara angkuh dia membentakku dan aku tersenyum. Dengan nada tinggi dia mengatakan bahwa dia seorang anggota tentara dan dengan tenang ku keluarkan “Taurus” ku. Dia kaget dan dengan senyum aku berkata, “Kamu jangan coba-coba melawan !” Seperti kerbau di cocok hidungnya dia menuruti semua perintah ku, dia berjalan di depan ku dan pada sebuah pohon yang besar ku suruh dia mengikat kedua kakinya di pohon itu dengan posisi membelakangi pohon. Kemudian ku suruh dia berdiri dan aku ikat kedua tangannya di pohon beringin itu.

Tali plastic yang aku peroleh dari sebuah warung seharga tujuh ratus lima puluh per meter itu sangat kuat. Aku beli empat meter dengan pecahan lima ribu dan dari kembaliannya aku peroleh sebuah “cuter”.***** Sambil meminum isi bungkusan yang di bawa tentara tadi, aku lihat dia sudah berumur tiga puluhan lebih dan mukanya tampak kecut melihat ku. Dia sudah terdidik untuk mengendalikan emosinya supaya tidak kelihatan takut. “Kamu tahu kamu ini siapa ?” “Orang yang selalu merugikan orang lain, kamu sampah, kamu bajingan !” Mukanya masih terlihat kecut walaupun “Taurus” ku menempel di kepalanya. Peredam suara aku pasang. “Mungkin hanya dengan ini aku bisa menyadarkan mu !” Dan sebutir peluru melesak melubangi tempurung kaki kirinya. Dia berteriak kesakitan dan darah mengucur membasahi celana jeansnya.

“Bagaimana, sakit ?” “Berapa banyak orang yang sudah kamu perlakukan seperti ini ?” Didikan militer memang kuat, mukanya kembali kecut menatap ku. Sekali lagi sebutir peluru menembus tempurung kaki kanannya, kali ini kedua kaki itu sudah tidak mampu menopang tubuh gemuknya. Kedua tangannya mengapit kuat di pohon dan membantu menurunkan tubuhnya yang tambun ke tanah. Karena kasihan, ku lepas ikatan kakinya dan aku luruskan kedua kakinya. Wajah tentara itu meringis kesakitan tetapi setelah itu, kembali muka kecut dia pasang. Kali ini sambil meludahi ku seperti dalam film ketika seorang GI di introgasi VC dalam hutan.******

“Kamu memang kepala batu.” Kali ini paha kanannya menjadi sasaran ku. Capek juga memarahi orang ini, aku minum lagi bungkusan itu. Tubuh ku menjadi ringan kembali dan kalau tidak salah minuman ini namanya “Knock Out”.******* Aku lihat dia masih menahan kesakitan dan ku teruskan minum ku. Sebatang rokok putih kunyalakan dan tidak lupa tentara itu juga kutawari. Kembali seperti tadi, aku benci sekali dengan muka kecutnya, seakan dia tidak percaya kalau aku mengakui kekuatannya. “Ditawari rokok malah seperti itu, mau minum tidak ?” Lagi-lagi muka kecutnya, aku minum dan rokok ku hisap beberapa kali, aku bangkit. Sambil menghela napas panjang kulepaskan kembali sebutir peluru dari “mulut Taurus” ku. Kali ini sasarannya paha kiri, tetapi sayang tembakan ku meleset, mungkin karena pengaruh minuman itu. Darah menyembur deras dari sela-sela kedua pahanya, tidak sengaja “pistol” tentara itu terkena peluru nyasar. Dia meraung-raung keras dan untunglah daerah ini jarang di lewati orang karena banyak sawah, pepohonan tinggi dan pekatnya malam tanpa lampu penerangan. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya dia dan keberuntungannya saat ini, dia belum menemukan rasa malunya. Kali ini mukanya tidak sekecut tadi, agak ketakutan dan memelas. Pendidikan dalam militer tampaknya sudah tidak digubris, tidak segarang tadi dan itu berarti bahwa dia masih manusia biasa, bukan robot. Mulutnya komat-kamit dan aku tidak dapat mendengar apa yang di ucapkannya, yang aku tahu dari raut mukanya, dia merasakan kesakitan yang begitu sangat. Darah terus mengalir dan celana jeans birunya itu telah berubah menjadi merah. Aku tatap mukanya dan iba menguasai ku, tetapi aku tidak mungkin melepaskan tentara itu kalau dia belum sadar akan perbuatnya.

“Ampun pak, ampuni saya !” Dengan segenap daya dia minta ampun pada ku. Aku teringat dengan peristiwa beberapa tahun silam ketika terjadi kerusuhan, aparat menghajar orang-orang dan ketika yang di hajar sudah minta ampun, hajaran tidak kunjung mereda. Seseorang tewas dan sepatu-sepatu lars itu meninggalkannya tergolek di pinggir jalan, sebuah nisan terpancang di ujung jalan dan di depan bangunan-bangunan megah. Kuburan panjang terbuat. Tetapi aku tidak mau membalas dendam atas peristiwa itu. “Apakah kamu tahu kalau kamu ini seorang bajingan, sampah masyarakat, mau menangnya sendiri ?” “Kamu tahu bagaimana nasib orang-orang yang kamu rugikan ?” “Apakah kamu terima ku katakan seperti itu dan mau mengerti apa yang aku katakan ?” Aku lepaskan uneg-uneg ku. “Iya pak, saya terima, saya tidak akan membalas bapak, saya terima.” “Dasar dungu kerdil, memang siapa yang takut dengan pembalasan mu ?” “Aku hanya ingin kamu camkan kata-kata ku, renungkan dan sesali semua perbuatan mu, jangan sekali-kali lagi mengulanginya !” “Iya pak, saya minta maaf, saya menyesal tidak akan mengulanginya lagi !” “Benarkah apa yang kamu katakan keluar dari hati dan kesadaran mu, bukan karena kamu takut akan aku bunuh ?” “Benar pak, saya benar-benar menyesal.” Muka yang memelas membuat ku tidak tega meneruskannya, tali-tali pengikat aku lepaskan. “Baik, kamu sekarang bebas, tetapi aku tidak bisa mengantar mu, aku tinggalkan kamu di sini, selamat berpisah !” “Terima kasih pak !”

Aku melangkah meninggalkannya, terdengar semak-semak bergemerisik dan itu pertanda dia mulai menggeser tubuhnya. Tempat itu memang tidak jauh dari tempat kami meletakkan motor. Sebenarnya aku tidak tega juga meninggalkannya, tetapi aku juga tidak mungkin mengantarkannya ke dokter atau ke kota karena itu akan menarik perhatian orang. Dengan sekuat hati, aku meninggalkannya dengan luka bersimbah darah.

Segera aku arahkan motor ku ke selatan, kabut tipis yang menyelimuti daerah itu menambah udara semakin dingin. Untung saja jaket parasit, sepatu boot dan kaos tangan kulit yang selalu aku pakai dapat sedikit menahan dinginnya kesunyian. Pengaruh minuman itu sudah mulai hilang, kalah dengan udara yang dinginnya bisa sampai tulang.

Aku buka kamar dan ku letakkan kembali “Taurus” ke dalam kotaknya. Dari dalam celana, aku keluarkan ‘clurit’******** yang terjepit di selangkangan. Clurit ini aku peroleh dari seorang penyerang ku beberapa waktu yang lalu. Seorang penyerang yang harus terburai ususnya oleh cluritnya sendiri, dia tewas setelah mata clurit ini merobek lehernya. Kejadian yang tanpa sengaja ku alami karena harus membela diri dari hujan serangan, aku tidak tahu kenapa orang itu menyerang. Pada waktu itu aku pulang dari kantor dengan baju bersih dan pulang dengan baju kotor belumuran darah. Dada kanan ku lebam karena lemparan batu dan punggung kanan ngilu karena sebuah balok kayu besar menghajar. Aku rebut cluritnya dan dia menyerang ku dengan batu dan balok kayu. Clurit ini berhasil aku rebut dari orang yang badannya sudah penuh luka menganga dan dia tidak mau menyerah sampai akhir hayatnya.

Aku nyalakan komputer dan kembali lagu-lagu “Victorian”********* yang penuh semangat membahana. Aku benci dengan lagu-lagu “generasi bunga”********** atau lagu-lagu “Psikedelic”.*********** Lagu-lagu seperti itu banyak didengarkan anak-anak muda yang manja, cengeng, aneh dan menurut ku kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang naïf. Pernah aku bertemu dengan salah seorang diantaranya, dia menaiki sepeda “onthel”, berdandan awut-awutan, lagak bicara seperti orang bloon atau habis menelan setengah papan “Triplek”.************ Image pertama yang terlintas di kepalaku adalah seniman dari manakah ini, karena dalam pikiran ku seniman itu berdandan “nyentrik” ingin menampilkan siapa jati dirinya yang berbeda dengan yang lain. Paling tidak itulah yang aku tangkap melalui pandangan mata ku, belum tahu apa yang ada dalam pikiran mereka. Tapi biarlah itu gaya mereka, memang apa hak ku memberikan penilaian, bisa-bisa bertambah musuh nanti, maaf ya dan aku terlelap ke dalam alam di mana masih ada mimpi.

Aku lihat tentara itu tidak lagi bisa bergerak di dekat sepeda motornya, tubuhnya membiru kehitaman. Tangan yang kekar memegangi knalpot, dia berhasil meraih motornya tetapi sayang, dia tidak berhasil menaikinya. Aku lihat darah berlepotan di rerumputan dan di satu titik yang tidak jauh dari pohon itu darah menggenang, tampaknya sang tentara berhenti di situ, mungkin istirahat. Setelah itu ku melihat, aku bermain-main dengan anjing kecil ku yang lucu. “Minke,minke,minke….sini, ambil bolanya !” “Huk,huk…….!” Dan dia begulung-gulung di rerumputan. Kami berlari-lari saling mengejar dan tidak terasa “sang surya” mulai malu menampakkan mukanya.

Jam sepuluh pagi aku harus tiba di kantor dan terlihat jam di hp tepat pukul delapan. Aku pikir masih bisa tidur satu jam lagi dan siapa tahu bisa bertemu dengan Minke. Weker aku setel jam sembilan.

Aku terbangun ketika “Copacabana”************* dengan terompetnya memanggil, ini berarti jam sembilan. Aku harus segera mandi, berkemas dan berangkat ke kantor.

Melewati sebuah warung koran, ku lihat judul-judul koran yang menyita perhatian. “Seorang Tentara di Temukan Tewas di Perkebunan”, “Tentara Dengan Empat Luka Tembak Tewas di Kebun” dan sebuah ‘Koran kuning’ memberi judul besar di headlinenya “Tentara Ditembak, Gugur Ditotol Ulo”. Ku beli koran-koran itu dan membawanya ke kantor.

“Kamu tahu ada tentara di tembak ?” Itulah sambutan di kantor pagi ini. “Tidak usah tanya, ini baca sendiri beritanya !” Sambil ku lemparkan sebuah koran. Dari berita, ku ketahui kalau tentara itu mati karena di pagut ular dan bukan karena lubang-lubang yang ku buat. Hal inilah yang mengurangi rasa bersalah ku. Kemudian aku teringat kalau daerah itu memang terkenal dengan ular “weling”************** nya. Ular yang sangat berbisa dan konon kabarnya, lebih berbisa daripada ular “king kobra”.

Beberapa hari ku pantau perkembangan berita pembunuhan itu dan setelah seminggu baru ketahuan kalau peluru yang digunakan untuk membunuh tentara itu sama dengan yang digunakan untuk membunuh polisi beberapa waktu yang lalu. Banyak masyarakat awam di beri ruang untuk berkomentar menanggapi masalah tersebut, kriminolog dan para ahli di bidang nya juga tidak ketinggalan. Komentar-komentar itu telah menambah suasana menjadi semakin meriah. Warung-warung angkringan kembali menemuka topiknya kembali.

Sebulan berlalu dan tidak ada lagi perkembangan yang signifikan tentang pembunuhan itu. Tetapi aku tidak khawatir karena aku tahu siapa pelakunya dan dimana barang bukti di simpan.

Hari-hari berjalan seperti biasanya dan aku sadar kalau hari ini harus ke kampus yang lama ku tinggalkan. Sebagai formalitas aku, harus melakukan bimbingan skripsi yang masih dalam tahap pengajuan proposal. Sambutan hangat aku terima dari beberapa kawan dan dosen. Aku menemui dosen pembimbing ku. Setelah mendengarkan beberapa pendapat dan masukan untuk membuat proposal yang baik, aku bergegas pulang. Seorang dosen berpapasan dan aku sapa dia, tampaknya dia acuh-acuh saja. Aku ulang sapaan ku dan keacuhan kembali menjadi jawaban. Aku memakluminya karena mata kuliah yang pernah dia ampu ku boikot dan sebagian besar kawan sekelas mendukung. Mogok kuliah pun di mulai. Aku tidak sepakat dengan metode perkuliahannya yang indoktrif, tidak menerima masukan dari mahasiswa dan menurut ku itu bodoh.

Dan aku paling benci pada orang yang ku sapa dan dia berlagak angkuh, sungguh tidak punya sopan-santun. Dari beberapa kawan aku tahu rumah dosen itu yang lokasinya melewati daerah-daerah sepi.

Aku buka kamar dan kumasukan kembali “Taurus” ke dalam kotaknya, sebuah pistol berwarna putih perak dengan gagang berwarna hitam berpeluru enam yang aku peroleh dari seorang pencuri di internet seharga tiga juta rupiah, beserta sekardus peluru. Dalam catalog yang aku baca tertulis “A WOMAN’S FIRST GUN” bersama dengan beberapa pistol: “H&K P7 9mm”, “Taurus 66 .357”, “S&W M586 .357”, “SIG-Sauer 230 .380, “Browning HiPower 9mm”, “Glock 19 9mm”.

Clurit yang masih bernoda darah aku bersihkan dan ku simpan kembali kedalam almari. Tisu yang ku gunakan untuk mengelap berubah menjadi merah kecoklatan dan segera aku bakar, aroma daging terbakar menguar kuat di dalam kamar.

Lagu-lagu “Victorian” kembali mengiringi ku kedalam alam dimana masih ada mimpi, weker ku matikan karena besuk hari sabtu dan itu berarti besuk adalah waktu untuk berhenti beraktifitas.

BtiJox Judges16:05

* Pistol berpeluru enam, direkomendasikan untuk perempuan. Bentuknya simpel bisa dibawa kemana saja tanpa mencolok perhatian.

** Tempat untuk nongkrong, biasanya ada warung makanan kacilnya. Dikenalkan oleh masyarakat Klaten. Warung ini juga disebut “kucingan” dan biasanya buka tiap sore.

*** Koran yang dalam pemberitaannya lebih mengutamakan sesuatu yang bombastis untuk menarik perhatian.

**** Nama minuman oplosan yang dijual di sebuah kafe.

***** Pisau yang sangat tajam, dari baja dengan kualitas menengah. Baja super digunakan untuk membuat samurai, senjata di Nusantara jaman dahulu atau pedang bangsa Eropa misal Escaliburnya Arthur.

****** Adegan-adegan film Hollywood dalam menggambarkan penyiksaan tentara Amerika (GI) yang tertangkap oleh Vietcong (VC).

******* Lihat ***

******** Senjata asli madura, bentuknya lengkung seperti huruf huruf C dan kalau dengan gagangnya seperti tanda Tanya.

********* Definisi penulis untuk lagu-lagu yang heroik misal Rhapsody, Last Resort, Sex Pistol.

********** Generasi penolak perang Vietnam di Amerika. Penganutnya disebut kaum Hippies dan melahirkan beberapa artis misal The Doors, J Joplin. Musik ini sering digunakan untuk symbol kebebasan.

*********** Musik yang mengusung refleksi, fantasi, halusinasi dan disukai oleh orang yang sedang mabuk terutama mabuk LSD. Bandnya semisal Misfits, Pink Floyd.

************ Nama sebutan untuk Trihex, jenis obat psikotropika. Bungkusnya berwarna putih dan hijau, tabletnya putih digunakan untuk menenangkan pasien di RSJ.

************* Ringtones Sony Ericsson T 230 dan soundtrack film Warkop.

************** Ular berwarna gelang-gelang kuning hitam simetris, ada ular bermotif sama tapi hitamnya lebih lebar namanya “tali wongso” digunakan untuk tari ular, tidak berbisa. Ular weling hidup di daerah lembab, misal sawah, rerimbunan bambu. Ular ini sering terlihat mengawal perpindahan ikan lele lokal menuju lokasi baru. Hal ini sering dikaitkan dengan patil lele lokal yang panas karena sering dijilati ular weling.

1 comments:

Anonymous said...

bot, semakin banyak yang terbunuh ya...nyawa dan hidup memang tidak berarti di negeri ini. (rosna)