Laporan Lapangan
27 Mei 2006 menjadi hari yang sangatlah sulit dilupakan bagi warga jogjakarta dan jateng, dalam hitungan hitungan detik saja semua harta benda sudah luluh lantak. Pagi yang biasanya tenang berubah menjadi kepanikan, suara jeritan, tangisan, alunan doa berbaur menjadi satu dan membuat miris bagi siapa saja yang mendengarnya. Di antara puing-puing reruntuhan itu berjajar tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa, ambulance, truk, pick up hilir mudik meraungkan sirene dan menyalakan lampu, melaju cepat membawa korban-korban luka ke rumah sakit terdekat. Hiruk pikuk kepiluan membuat kota jogjakarta menjadi sebuah kota yang sangat mengerikan. Di pinggir-pinggir jalan, banyak tubuh-tubuh berjajar bermandikan darah, entah masih hidup atau sudah tidak bernyawa. Rumah sakit banyak yang menolak pasien karena sudah tidak mampu lagi menampung pasien. Sampai malam hari kesibukan evakuasi korban masih berlangsung.
Dalam kegelapan karena hampir 90 % listrik di jogja padam, orang-orang masih mencari anggota keluarga mereka yang menjadi korban. Mulai pukul 21:00 jogja diguyur hujan deras, gempa susulan yang masih sering terjadi kira-kira dua jam sekali semakin membuat panic masyarakat. Alun-alun kraton jogjakarta telah dipenuhi pengungsi, kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi bahwa kraton akan selalu dilimpahi keselamatan, membuat kraton menjadi lautan manusia.
Hari pertama adalah hari yang sangat menyedihkan, kota jogja tanpa penerangan, tanpa tenda pengungsi, tanpa makanan dan diguyur hujan lebat.
Hari kedua mulai banyak yang sakit-sakitan (flu, muntaber, ispa, dan infeksi luka yang belum terobati) dan kelaparan. Masyarakat yang setiap harinya bertani dan menjadi buruh turun ke jalan-jalan meminta belas kasihan kepada para pengguna jalan.
Sampai hari ke lima masih banyak ditemukan korban yang terkubur dalam reruntuhan*. Baunya sudah sangat menyengat. Pasokan bantuan yang sangat lambat dan birokratis dari pemerintah semakin memperparah kondisi. Belum lagi statement dari pejabat-pejabat yang menyebutkan nominal bantuan telah membuat masyarakat semakin gelisah**. Pendistribusian bantuan yang tidak merata juga telah membuat masyarakat saling mencurigai satu dengan yang lainnya. Petugas-petugas yang terkait dengan distribusi bantuan banyak yang menyunat bantuan itu. Contoh kasus misalnya, di daerah srandakan bantul per KK mendapatkan Jadup 5 kg beras. Dalam pelaksanaannya mereka hanya mendapatkan antara 4 sampai 4,5 kg beras. Kemudian di daerah imogiri, pembagian logistic untuk posko yang besar dan yang kecil disamaratakan. Masih di daerah imogiri, pasokan air bersih untuk MCK di monopoli oleh pengurusnya. Untuk mandi harus bayar Rp 3000,00 dan untuk berak Rp 1000,00***.
Kondisi social di masyarakat semakin tegang ketika mulai maraknya penjarahan-penjarahan bantuan dan pencurian-pencurian dengan kedok relawan. Potensi konflik dalam masyarakat semakin tinggi, beberapa relawan sempat menjadi amukan massa****.
Awal juni 06, mulai terbersit pikiran-pikiran untuk mengendalikan situasi yang semakin tidak terkendali itu. Gagasan-gagasan untuk menciptakan masyarakat yang segera bangkit dari keterpurukan dan masyarakat mandiri akhirnya membuahkan sebuah gerakan yang diberi nama “Gerakan Bantul Bangkit”. Gerakan ini berkoordinasi dengan Bapak Idham Samawi (Bupati Bantul). Peran therapy pasca gempa diambil dengan memasang spanduk-spanduk yang berisi dorongan bagi masyarakat bantul untuk tidak putus asa walaupun sudah tidak punya harta benda dan ditinggal saudara-saudara mereka.
Dari pantauan di lapangan, pasca gempa telah membuat pasien rumah sakit jiwa naik hingga 50% dan tingkat bunuh diri juga naik secara tajam. Hampir di setiap daerah yang parah terkena dampak gempa dapat di temukan orang bunuh diri.
Gerakan Bantul Bangkit di deklarasikan di rumah dinas bupati bantul dan mendapat sambutan yang positif dari masyarakat. Bantuan dari relawan yang semakin hari semakin menipis mulai menyadarkan masyarakat bahwa untuk membangun kembali bantul harus dimulai dengan berdiri di kaki sendiri.
Saat ini perekonomian dan kondisi social masyarakat bantul mulai pulih, tingkat ketergantungan masyarakat pada bantuan luar mulai dapat dikikis. Masyarakat yang sehari-harinya bertani dan menjadi buruh mulai beraktifitas seperti biasa. Disela-sela membersihkan puing-puing dan mendirikan rumah semi permanent, mereka mulai kembali ke sawah dan mulai bekerja. Pasar-pasar tradisional mulai mengeliat walaupun masih menggunakan tenda-tenda darurat. Sekolah-sekolah yang hancur juga mulai aktif dengan menggunakan tenda-tenda. Para siswa mulai bersemangat masuk sekolah meskipun masih ada yang luka akibat tertimpa bangunan. Mereka tetap bersekolah walaupun tanpa seragam dan tanpa bangunan permanen.
Bantul mulai bangkit dengan kemandirian, semangat masyarakat untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan adalah awal untuk membangun kembali bantul. Keceriaan kembali tergurat di wajah anak-anak yang selama beberapa waktu terakhir terlihat murung, inilah yang akan membuka mata bagi semua saja bahwa kehancuran bantul bukanlah kematian bagi mereka. Kehancuran adalah semangat untuk membangun yang lebih baik. Berdiri di kaki sendiri akan lebih baik dari pada mengandalkan orang lain, kembali kepada semangat bergotong-royong yang merupakan warisan nenek moyang untuk membangun kembali bantul. “SAIYEG, SAEKAPRAYA”*****
Btijoxjun0706
* kurang lebih 6000 jiwa menjadi korban gempa 27 mei 2006 dan hingga saat ini masih ada korban yang belum ditemukan.
** statement dari wapres tentang ganti rugi dan santunan bagi korban bencana telah membuat masyarakat saling mencurigai satu-sama lain. Selain itu juga membuat beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab memperebutkan tender/proyek itu.
*** Korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat mengakar di negeri ini tidak lagi mengenal ruang dan waktu.
**** sudah sering terjadi clash di masyarakat masalah distribusi bantuan dan kecurigaan sesama anggota masyarakat.
***** saeyeg, saekapraya adalah semboyan peninggalan nenek moyang dalam bahasa jawa yang berarti senasib sepenanggungan.
Miris = memilukan, mengerikan