Saturday, May 20, 2006

RISALAH KEHIDUPAN

Malam ini benar-benar mata ku tidak merasakan kantuk. Pikiran ku melayang menerawang jauh, mengingat detik-detik dimana aku menjatuhkan sebuah pilihan yang telah membuat orang-orang di sekitar ku ternganga-nganga. Mereka kaget dengan keputusan yang aku ambil, keputusan yang mereka anggap sebagai sebuah mimpi belaka. Mereka mentertawakan ku dan menanggapi dengan nada pesimis. Saat itu aku hanya menjawab kalau aku sedang mewujudkan mimpi yang kuperoleh beberapa bulan terakhir ini. Dengan senyum aku katakan, “tolonglah kalian maklumi ini, dukunglah aku untuk mencobanya, toh kalianlah yang selama ini selalu aku pandang sebagai sosok-sosok yang optimis, aku hanya ingin kalian meyakinkan bahwa yang namanya mimpi bisa menjadi kenyataan, selama masih ada usaha, kalian yang memberikan banyak contoh menjadi seorang pekerja keras dan pantang menyerah, semoga kalian memaklumi ini, aku harap kalian tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang aneh, aku ingin kalian melihat ini sebagai sesuatu yang biasa seperti halnya ketika kita melihat kawan-kawan kita yang satu per satu terbantai dijalanan, yang jelas aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menggapai mimpi itu, satu yang selalu membuat ku bersemangat adalah aku selama ini tidak pernah menganggap itu sebagai mimpi, semuanya begitu nyata terpampang di depan ku.” Dan pembicaraan itu berakhir dengan banyak pertanyaan di kepala mereka. Tidak seorangpun yang mencoba membantah tetapi aku yakin, di dalam hati mereka juga mencoba menelaah semua yang baru saja terjadi. Dalam hati ku sendiri berkata “kalau segala sesuatu itu dapat kita peroleh selama kita masih mau berusaha.”

Hari-hari berjalan serasa lambat, menunggu waktu yang terasa lama merambat seperti biasa tetapi berbeda dan orang-orang di sekitar ku masih menyimpan pertanyaan walau mereka selalu bilang “berusahalah kawan!” Mata dan perilaku mereka di depan ku tidak bisa menipu. Aku telah terbiasa berhadapan dengan hal-hal yang bertentangan dengan kata hati dan selalu mencoba memakluminya, perjalanan yang aku lakukan selama ini telah banyak memberikan pelajaran yang sangat berharga. Tidak banyak orang seberuntung diri ku dan aku merasa sangat berhutang pada masa-masa yang telah terlewati. Aku sangat berterimakasih kepada kedua orang tua dan saudara-saudara ku yang telah memberikan keleluasaan atas apa yang menjadi pilihan hidup ku. Banyak di sekitar kami yang menganggap keluarga kami “broken” tetapi kami selalu menganggap kalau keluarga kami adalah keluarga yang merdeka dan selalu menghargai setiap pilihan. Kami tidak pernah melarang ketika seorang diantara kami mengambil keputusan seekstrim apapun tetapi walaupun begitu kami tidak pernah melepaskannya begitu saja tanpa tanggung jawab. Kami selalu memberikan pertimbangan-pertimbangan dan masukan-masukan. Pernah aku terjerumus dalam permasalahan yang sangat pelik ketika aku mengambil sebuah keputusan dan ku lihat, keluarga ku juga tidak lepas tangan, tangan mereka terulur dan tidak meninggalkan ku dalam kebimbangan. Maka ketika kami mendengar kalau ada yang mengatakan keluarga kami morat-marit dan tidak teratur, kami selalu tersenyum atau bahkan tertawa. Aku masih ingat betul ketika kedua orang tua ku mengkonsep rumah tangga. Ketika itu aku masih duduk di bangku SD, suatu malam terdengar perdebatan yang seru di ruang tamu. Muka kedua orang tua ku terlihat memerah dan nada yang keluar dari mulut mereka mengalir meninggi. Bapak ku “anak kita sudah dewasa, biarkan dia menjalani pilihannya!” Ibu menyahut “tapi dia perempuan!” “Memang kenapa kalau perempuan, apa kamu mau membuat dia menjadi orang yang terkucil, kerdil?” “Tapi sangat berbahaya bagi seorang perempuan berada di luar sendirian!” “Kita boleh mengkhawatirkanya, aku juga tidak tega membiarkannya tapi lebih tidak tega lagi kalau dia menjadi orang yang tidak mengetahui apa-apa!” Percakapan itu berakhir dengan ibu yang membanting kursi dan bapak segera keluar rumah. Aku ikuti langkah bapak dan ku lihat dia duduk termangu di bawah pohon jambu di halaman depan rumah. Aku menghampiri dan bapak kaget melihat ku yang sudah ada disampingnya. “Kamu belum tidur?” Aku hanya menggelengkan kepala. Bapak meraih tangan dan memangku ku. “Lihat itu bulan bersinar terang, sekarang tanggal 14 Jawa dan besok bulan akan terlihat bulat sempurna, cahayanya akan meredupkan lampu-lampu jalan.” “Kalau bulan bersinar terang, belut tidak berani keluar dari liangnya.” Sudah menjadi kebiasaan keluarga kami kalau malam mencari belut di sawah dengan bermodalkan lampu minyak dan sebilah pedang. Begitu belut terlihat, pedang disabetkan dengan posisi terbalik, bagian tumpul yang digunakan karena kalau bagian tajam akan membuat belut terpotong dan itu mengurangi citarasa ketika dimasak. Tetapi aku masih teringat peristiwa yang baru saja terjadi, mereka pasti sedang meributkan mbak ku. Karena dari tadi aku juga belum melihat mbak pulang, dia sekamar dengan ku.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, mbak masih menikmati kehidupannya dan suatu malam dia menangis tersedu dihadapan kedua orang tua ku. Sayup aku mendengar pembicaraan mereka dan ternyata mbak telah hamil, dia baru saja lulus SMA. Ibu mencoba menyalahkan bapak dan bapak berkata “kalau tidak begitu dia tidak akan belajar, itulah hasil pelajaran yang telah dia peroleh, sekarang hal ini tidak perlu diributkan dan tidak perlu saling menyalahkan, besok kita datangi laki-laki yang menghamilinya, kita tanya maunya apa?” Dan mbak masuk ke dalam kamar. Dia langsung naik ke tempat tidur dan masih menangis tersedu. Semalaman dia menangis hingga lelah menidurkannya.

Kejadian itu telah menjadi pelajaran yang sangat berarti bagi keluarga kami, bapak ku masih berpegang pada keyakinannya dan masih mencoba meyakinkan ibu yang pada akhirnya luluh juga. Mulai saat itu keluarga kami mulai menggodok arti kebebasan itu. Maka ketika beranjak dewasa aku pamit untuk hidup di luar rumah dan kedua orang tua ku mengiyakannya tetapi dengan disertai pertimbangan-pertimbangan dan masukan-masukan yang masih teringat hingga saat ini. Aku masih ingat ketika mereka menceritakan tentang keadilan, kemerdekaan dan harga diri. Aku juga masih ingat ketika mereka menceritakan tentang bagaimana bertahan hidup dan itu merupakan pesangon yang tiada ternilai. Walau aku masih di bangku SMP, belum tentu seminggu sekali pulang ke rumah. Saat itu aku mulai mempelajari cara membuat souvenir dari perak di rumah seorang kawan. Aku mendapatkan imbalan yang bisa untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Untuk biaya sekolah aku masih disubsidi orang tua. Sejak SD aku memang senang mencoba-coba sesuatu yang baru, rokok hingga minuman keras dan ketika SMP merokok di depan orang tua ku adalah hal biasa saja. Mereka tidak melarang tetapi mereka juga memberikan pertimbangan. Pada masa SMP inilah untuk pertama kalinya aku menjejakkan kaki di Ibu kota. Liburan yang panjang dan bermodal nekat aku berangkat dengan naik bus gratisan karena aku cukup dikenal dilingkungan terminal. Aku saat itu dekat dengan seorang preman terminal dan boleh di bilang dia adalah orang tua asuh ku. Satu bulan penuh aku hidup pulo gadung. Teman dan pengalamanku menjadi semakin banyak. Aku hidup menumpang pada seorang ibu penjual makanan dan membantunya menjaga warung. Dengan cepat aku menjadi familiar di daerah itu. Alasan pertama karena orang tua asuh ku cukup disegani di daerah itu dan kedua karena mereka menganggap aku sebagai sosok yang sensasional. Aku hidup dalam lingkungan yang sangat menjunjung tinggi keberanian layaknya cerita dalam film kesatria abad pertengahan yang heroic.

Bangku SMP aku tinggalkan dengan terseok-seok dan diterima di sebuah SMA swasta di kota ku. Aku merasa nyaman di sekolah baru itu karena murid-muridnya yang tidak jauh berbeda dengan jalan hidup ku. Di bangku SMA itu aku lebih sering jalan-jalan keluar kota dan Ibu kota adalah prioritas utama perjalanan. Di bangku SMA ini pula aku mempelajari dan mencoba memahami pemberontakan. Walau aku telah menjalani anti kemapanan tapi saat itu aku mencoba menelaah lebih dalam tentang makna dan arti anti kemapanan itu sendiri. Disinilah pula aku mulai memahami nasehat-nasehat kedua orang tua ku sebelum memutuskan untuk keluar dari rumah. Saat itu lah kebencian terhadap apparatus negara semakin memuncak hingga para guru ku sering mengelus dada. Aku muak dengan polisi yang suka menilang motor, kenapa mobil tidak? Aku muak dengan sikap polisi yang arogan terhadap rakyat jelata, kenapa tidak dengan orang kaya? Aku muak dengan orang yang punya jabatan entah itu tinggi atau pun hanya pengurus kampung. Mereka selalu merasa paling tahu dan paling benar hingga bisa memperlakukan rakyat jelata dengan sesuka hati. Hingga pada saat-saat terakhir sekolah SMA, aku mendengar peristiwa yang mengerikan di Ibu kota. Aku masih ingat betul tahun 1996 ketika di boulevard sebuah universitas di kota ku, mahasiswa dipukuli, diinjak-injak dan diseret-seret aparat. Dari spanduk yang aku baca mereka menuntut demokrasi ditegakkan di negeri ini. Itulah pertama kalinya aku merasakan lari dalam kejaran aparat kekuasaan.

Lepas SMA aku tidak mau meneruskan kuliah karena aku telah asyik memasuki dunia petualangan. Selama satu tahun aku berpindah-pindah tempat. Berdiri dijalanan dan mental ku semakin tertempa. Pada tahun-tahun inilah aku mendengar kalau orang tua asuh ku mati setelah beberapa sabetan dan tusukan senjata tajam menghujani tubuhnya. Bekas darah segar masih terlihat tertutup pasir di depan pintu masuk terminal bus antar kota di kota ku. Banyak orang yang kaget mendengar berita kematiannya dan para pelayat membanjiri pemakaman yang hangar-bingar itu. Aroma alcohol dan ganja menyeruak dari setiap sudut menggantikan wangi setanggi. Terbersit wajah-wajah yang kuat dan bahagia, tertawa dan tidak menangis. ..…mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.* Orang yang dahulu selalu menghantarkan ku sekolah ketika masih SD dan mendidik ku waktu SMP kini telah mati dibunuh. Lebih ironis lagi setelah pembenuh itu tertangkap ternyata dia adalah teman akrabnya sendiri, teman bertahan hidup dijalanan. Hanya karena permasalahan perbedaan partai yang diikutinya, mereka telah menjadi budak-budak kekuasaan hingga saling membinasakan. Mereka telah membela orang-orang yang tidak pernah membela mereka, mereka memperjuangkan orang-orang yang tidak pernah memperjuangkan nasib mereka. Mereka adalah korban yang dikorbankan bukan untuk kejayaan negeri ini.

Orang tua ku kali ini meminta ku untuk melanjutkan kuliah. Butuh waktu lama untuk mempertimbangkannya hingga aku setuju untuk melanjutkan kuliah tetapi dengan satu syarat aku diberikan kebebasan untuk menentukan tempat dan jurusan. Pada masa kuliah inilah aku semakin mendalami pemberontakan, teori-teori yang dianggap radikal dan revolusioner ku pelajari. Perlawanan terhadap penindasan berkobar menyala-nyala, melawan aparat penindasan menjadi nafas dan dipukul senjata aparat penindas semakin menambah semangat menjadi membara.

Simbol penindasan telah berhasil ditumbangkan tetapi itu bukan berarti penindasan telah berhasil dihancurkan. Bagi ku kekuatan penindas masih berdiri kuat di depan mata, mereka masih terlihat angkuh menatap dan harus dijungkirbalikkan. Perjalanan masih panjang dan masih banyak pula yang bisa dilakukan. Keteguhan sikap, kesabaran dan ketajaman mata maupun batin merupakan teman yang mengasyikkan. Menjadi sebuah alunan nada pengiring tarian-tarian kebebasan.

Matahari telah terbit dan bersinar penuh keceriaan, aku masih berjalan di jalan ku, masih duduk di tempat seperti biasanya, menghabiskan malam menyambut datangnya mentari. Berbatang-batang rokok telah aku hisap habis malam ini, aku masih menatap titik keramain dari tempat yang sepi. Kembali aku teringat pada mimpi beberapa bulan terakhir, mimpi yang sangat indah dan bagi ku bukanlah lagi mimpi karena itu sangatlah nyata di depan mata. Sungguh aku tidak mau dan tidak akan menginkari kenyataan itu dan menjadikannya sebagai sebuah mimpi. Karena saat ini aku tidak sedang tidur, aku masih terjaga dan tidak lelah. Ini bukan mimpi, aku yakin itu!

* Petikan yang diambil dari Kitab Yesaya 40:31

Btijox051906:0647