Dipagi buta seorang nenek duduk termangu di depan rumahnya yang terlihat mulai miring ke kiri. Dengan wajah yang terlihat gusar, sesekali ia melihat ke belakang. Pintu yang menganga membuat seisi rumah terlihat. Temaram lampu minyak yang menyinari ruangan bergoyang-goyang ditiup angin pagi yang menusuk sampai ke sumsum. Dalam ruangan itu terlihat seorang bocah kecil yang tertidur pulas. Badannya yang kurus tampak tenang tanpa membawa beban apapun dalam mimpinya. Pohon-pohon bambu meliuk ditiup angin dan melantunkan suara yang pilu. Udara pagi yang basah menambah suasana kian memerindingkan bulu kuduk. Gemericik air di sungai kecil sebelah rumah mencoba menenangkan hati dan pikiran. Kokok ayam pertama terdengar. Ayam pelung yang suaranya mengalun panjang dan merdu memberikan isyarat bagi umat manusia untuk bersiap-siap bangun. Beberapa saat kemudian suara Adzan pertama terdengar membelah kesunyian subuh. Sang nenek tergeragap dan sadar akan kegusarannya, ia segara bangun dan masuk ke dalam rumah menengok si bocah yang masih dalam ketenangannya. Langkah kaki sang nenek yang terseret tidak mengusik ketenangan bocah itu. Kaki yang dahulu mampu berjalan bepuluh-puluh kilometer, kini untuk mengangkat tubuhnya pun terasa berat dan bergetar. Pada masa revolusi kemerdekaan, kaki itu sanggup mendaki gunung-gunung untuk menghindari sergapan tentara belanda. Dia bersama-sama dengan teman-temannya yang lain berjuang mengangkat senjata. Sebuah karabin rampasan dari tentara belanda ia tenteng kemana-mana dan itulah suaminya saat itu. Kepedihannya melihat penduduk desa disiksa, dirampas hasil bumi dan ternaknya, diinjak-injak dan diperkosa oleh penjajah yang membuatnya memberanikan diri bergabung dengan pemuda gerilya. Pertama ia akan ditempatkan di bagian logistic tetapi tidak mau, ia lebih suka berada di front terdepan dengan mengangkat senjata. Selama sebulan ia dilatih menggunakan senjata hingga akhirnya diijinkan untuk ikut mengamankan daerah yang berhasil direbut republik. Walaupun seorang perempuan tetapi ia termasuk seorang gerilyawan yang tangkas sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah memimpin pasukan sebanyak 15 orang semuanya laki-laki. Ia pandai dalam mengatur taktik penyergapan musuh dan ia juga pandai dalam merumuskan strategi untuk menguasai suatu daerah yang belum terbebaskan. Gerakan gerilya yang ia ikuti memang berbeda dengan pasukan resmi bentukan republic yang diajari cara baris-berbaris dan mengenal militer secara formal. Mereka berjuang hanya bermodalkan seadanya dan insting untuk membinasakan musuh di depan mereka. Pengalaman dalam peperangan yang membuat mereka terus bertahan hidup keluar-masuk hutan, turun naik gunung dan bersatu dengan penduduk di setiap perkampungan yang mereka singgahi. Untuk taktik dan strategi yang mereka gunakan banyak diperoleh dari cerita-cerita orang tua mereka tentang kejayaan kerajaan-kerajaan besar yang pernah berdiri di nusantara. Tidak sedikit pula mereka belajar dari cerita-cerita babad yang dipentaskan oleh kelompok-kelompok kesenian kethoprak atau wayang orang. Dalam perjalanan waktu, mereka menjadi gerakan gerilya yang sangat ditakuti dan disegani musuh. Tidak terhitung berapa daerah yang telah berhasil mereka bebaskan dari cengkeraman musuh, tidak terhitung pula berapa banyak musuh yang mereka binasakan, berapa banyak senjata ringan maupun berat yang berpindah tangan dan tidak sedikit pula tank-tank musuh yang berhasil mereka jadikan rongsokan. Mereka terus bergerak tidak kenal lelah dan kenal menyerah sampai akhirnya musuh benar-benar meninggalkan republic. Dan saat ini mereka pun juga telah ditinggalkan dan mungkin juga dilupakan.
Friday, May 26, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment